Dikutip dari VIVAlife – Jika dilihat sekilas, para Burrnesha di
Albania, terlihat seperti pria setengah baya pada umumnya. Tapi, sebenarnya ada
kisah luar biasa di balik penampilan mereka. Para Burrnesha adalah wanita yang
“dipaksa” menjadi pria karena tuntutan keluarga.
Burrnesha, atau yang lebih dikenal dengan nama
“Bersumpah Perawan” adalah tradisi yang telah berlangsung di kawasan utara
Albania sejak abad pertengahan. Tradisi tersebut mengharuskan anak perempuan
pertama dalam keluarga untuk bertindak, berperilaku dan berpenampilan layaknya
pria, menggantikan kepala keluarga.
Sejarah tradisi tersebut dipercaya bermula pada abad
ke-15, di mana banyak keluarga di Albania yang kehilangan sosok pria akibat
perang antarsuku. Guna mengatasi hal tersebut, anak perempuan tertua secara
otomatis harus mengambil alih tugas sebagai kepala keluarga.
Dengan demikian, semua hak dan kewajiban pria juga
ikut melekat pada perempuan tersebut. Atau dengan kata lain, mereka harus
bertindak dan berpenampilan layaknya pria. Mereka juga dibebaskan dari
“batasan” yang mengikat kaum perempuan. Mereka diperkenankan minum minuman
beralkohol, merokok, membawa senjata, juga berkumpiul dengan pria lainnya.
Tapi, di sisi lain, mereka juga harus mengambil
sumpah selibat. Mereka tidak diperkenankan menikah. Dari situlah nama
“Bersumpah Perawan” berasal.
Tradisi tersebut memang sudah berumur lebih dari 600
tahun dan mulai dilupakan. Namun, bukan berarti para Burrnesha sudah menghilang.
Salah satu Burrnesha yang masih tersisa, Qamile Stema (92 tahun) berbagi cerita
kepada seorang fotografer asal Spanyol, Luis Dafos.
Dilansir Daily Mail, Qamile sudah bersumpah perawan
sejak berusia 20 tahun. Pada waktu itu, hal tersebut merupakan satu-satunya
jalan untuk mempertahankan tanah warisan keluarga, dan melindungi kesembilan
adik perempuannya, sepeninggal ayah mereka.
Qamile merupakan satu dari sedikit Burrnesha
terakhir yang masih hidup di desa Baraganesh, Albania. Akibat sumpahnya, Qamile
harus menanggung hidup sepi, tanpa pasangan.
Ketika ditanya bagaimana cara mendeskripsikan diri
sendiri, Qamile menjawab ringan, “Saya pikir, saya selalu jadi manusia dari
kedua sisi gender, wanita sekaligus pria,” papar Qamile.
Bagi para perempuan modern, hidup sebagai Burrnesha
mungkin dipandang sebagai sebuah hukuman seumur hidup. Namun, di desa kecil
Baraganesh, Burrnesha adalah status yang dihormati dan dengan menyandang status
tersebut, perempuan mendapatkan “kebebasan” serta kesetaraan dengan kaum adam.
Mereka juga bisa memiliki tanah pribadi, hal yang mustahil bagi wanita.
“Di Baraganesh, perempuan adalah properti bagi ayah
dan suami mereka,” cerita Qamile. Di masanya, seringkali remaja perempuan
dipaksa menikah dengan pria berusia jauh lebih tua dan punya tanggung jawab besar
mengurus rumah serta ladang.
Berbeda dengan Qimela, Diana Rakipi (59), justru
secara sukarela menawarkan diri menjadi Burrnesha. Dia bersumpah perawan
ketika menginjak usia 17 tahun. “Saya
tidak merasa terpaksa. Saya selalu tahu tidak ada masa depan dengan menjadi
perempuan di sini. Dengan menjadi pria, saya mendapatkan kekuasaan dan
kebebasan untuk menentukan hidup sendiri. Tidak ada penyesalan,” tuturnya
kepada harian lokal RT.
Sementara itu, Hajdari (86), sudah sejak kecil
belajar menjadi pria dan memang berkeinginan menjadi Burrnesha. “Mama selalu
memukul saya dan berusaha memakaian pakaian feminin, tapi saya tidak suka
menjadi perempuan. Saya ingin menjadi Burrnesha,” kata Hajdari yang bersumpah
perawan di usia 12 tahun.
Kendati hidup sebagai pria, para Burrnesha
menyangkal bahwa mereka adalah homoseksual yang menyukai sesama wanita. “Inti
menjadi Burrnesha bukanlah tentang perempuan yang punya kebebasan menyukai
perempuan lain, tapi lebih ke kesetaraan dengan kaum pria. Kami bukan lesbian,”
tutur Hajdari. (one)
Menarik melihat artikel diatas, disaat jaman
sekarang banyak wanita yg malah gampang nyerahin "keparawanan" di
Albania mereka para wanita bersumpah untuk perawan se-umur hidup. Mereka
melakukan karena tuntutan dan hak - hak sebagai wanita telah banyak dirampas.
Mungkin kalau di Indonesia ada Ibu Kartini, yang sangat gigih memperjuangkan
emasipasi wanita. Bedanya di Indonesia tidak se-ekstrim di Albania.
No comments:
Post a Comment